Ringleader
Kematian saya begitu dramatis dan puitis, tidak ada yang saya bayangkan. Ini indah dan melanggar batas. Ada teriakan dan kebingungan. Rasa lapar akan putus asa mengalir di nadi saya, kerinduan akan kehangatan yang tidak lagi mengalir pada nadi saya. Perut saya bergejolak dan berputar. Telapak tangan saya berkeringat, dan rambut saya menempel di dahi saya ketika saya bangkit gemetaran.
Waktu membeku. Sebagian langit dipenuhi dengan cahaya, sementara bagian lain diselimuti kegelapan; matahari terbenam bertemu di antara pusatnya ... tidak ada kendaraan yang berlalu langlang selama jam-jam sibum ini. Semunya bergerak perlahan; bahkan burung-burung di atas, bergerak antara hidup dan mati.
"Hello?" Suaraku begitu gugup dan bergema di sini, seperti bumi berubah menjadi gua-gua. Tidak ada yang menjawab. Kenapa begitu sepi?
Tunggu, ada seseorang di sana. Tepat di sungai; dia tenggelam. Saya berusaha menggerakan kaki saya yang terasa begitu berat, sehingga saya berjalan tertatih-tatih. Semakin dekat, kenapa pemuda ini mirip dengan saya? Tidak, itu memang saya. Begitu menyedihkan.
Sesosok figur menghampiri saya, tubuh terbalut jubah hitam klise yang bergelombang. Jari-jarinya yang kurus mencengkeram sabit perak yang tampak mematikan yang tanpa sengaja memantulkan cahaya dari matahari yang terbenam. Meskipun saya tidak bisa melihat wajahnya, tapi saya tahu dia sedang menatap langsung ke arah saya. "Nakastra dis Peter." Suara orang asing itu adalah bisikan serak yang membawa akhir dan finalitas. "Waktumu habis."
"Aku tahu Anda sangat bingung, tetapi kamu baru saja melihat dirimu tenggelam di sungai. Anda mungkin mengalami perasaan sakit, kesedihan, atau gejala-gejala aneh termasuk membatasi anggota badan atau tenggorokan. Ini semua benar-benar normal untuk orang yang baru mati, Putra Hades. Namun atas nama Hades, aku tidak bisa menerima suap tentang transportasi Anda ke alam baka."
Selama saya hidup, saya selalu dibebani dengan dewa yang bernama Hades itu—yang mengaku sebagai ayah saya.
"Anda sudah mati, Putra Hades. Anda tidak dapat mengembalikan kembali masa lalu, tetapi Anda masih dapat mengubah masa depan Anda." Sang Maut membawa sabitnya ke udara, membawanya ke bawah untuk terakhir kalinya di tengah jalan. Sepuluh detik berlalu sampai langit di atas kami dan tanah di bawah kami mulai retak. Semuanya mulai hidup kembali, seolah-olah malaikat maut memiliki kendali atas seluruh dunia juga. Warna-warna langit mulai hancur dan terbakar; terbelah semudah kaca, langit malam berbintang di tempatnya. Burung-burung mulai menggerogoti dan terbang lagi di antara dunia saat tanah mulai retak.
"Kau masih bisa mengingat bagaimana kau mati, Putra Hades. Kau bisa memilih untuk hidup kembali atau tetap di sini untuk mengingat semua dosamu. Kau sebenarnya tidak harus mati sekarang. Tapi, ibumu memang bodoh."
Rasanya, saya ingin melemparkan tinju pada Sang Maut. Tapi, saya memiliki keterbatasan dalam bergerak. Dia mengantarkan saya kepada tiga hakim maut yang hanya bertubuh tengkorak.
"Putra Hades," ucap salah satu dari mereka, "kenapa kau rela berkorban hanya untuk keserakahan ibumu? Seharusnya kau tidak di sini."
Yang tengah menatapku dengan tatapan yang begiti tajam, seperti dia ingin membuat saya menjemput ajal untuk yang kedua kalinya. "Kami mempunyai pilihan untukmu, Putra Hades. Mulailah kehidupan barumu sebagai seorang reinkarnasi atau tetaplah di sini membayar semua kesalahanmu."
"Kalian begini karena ayah saya adalah raja di sini? Cih, tidak berguna." Saya kesal, karena mereka nampak pilih kasih dengan manusia lain.
Hakim yang ketiga berdiri dan berkata, "Oh, tentu bukan. Seperti yang kami bilang tadi, kau seharusnya belum mati." Hakim tersebut menampilkan gambar diriku yang berpakaian rapih—pakaian pernikahan. "Kau meninggal disaat umurmu yang sudah matang untuk menikah, kau akan mempunyai keluarga yang bahagia bahkan sangat bahagia."
Tapi, kenapa saya tidak ingin itu semua terjadi. Ibu ... di mana dia? Seharusnya dia bersama saya. "Di mana ibuku?" tanya saya.
"Ibumu telah menjalankan hukumannya, dia tidak bisa dimaafkan." Nada bicara yang hakim seperti sangat mendiskriminasi ibu.
Saya menghela nafas, tidak ada pilihan lain. "Kalau begitu, hukum saya juga. Ibu melakukan itu semua karena saya."
"Apa kau yakin?" tanya salah satu hakim.
"Ya."
Komentar
Posting Komentar